Catatan Walija: Mengolah Gagasan

Ahmad Soleh
2 Februari 2025

November 2019 silam, aku membeli buku berjudul Komposisi; Mengolah Gagasan Menjadi Karangan yang ditulis oleh Walija. Buku yang diterbitkan oleh Penebar Aksara pada 1996 tersebut menarik perhatianku lantaran dua hal. Pertama, aku sedang membutuhkan banyak referensi seputar kepenulisan. Kedua, sosok penulis adalah dosen yang cukup berkesan buatku. 

Meskipun banyak referensi mutakhir yang ditulis para pengarang besar seputar kepenulisan, teknik dan tips menulis, dan sebagainya, aku memilih untuk memiliki buku tergolong lawas itu karena kurasa buku itu bisa menjadi pelengkap referensi. Tentu, aku juga tertarik membeli karya mutakhir, seperti buku Creative Writing karya AS Laksana atau Memikirkan Kata yang berisi rangkuman sepak terjang para penulis dunia. Beberapa buku lain pun aku beli untuk melengkapi koleksi.

Selain buku Komposisi, aku juga punya satu buku lagi karangan Walija, judulnya Bahasa Indonesia Komprehensif. Sampai tulisan ini ditik, aku masih lupa menyimpan buku itu di mana. Buku jadul itu juga menjadi salah satu peganganku semasa menjadi editor bahasa di sebuah koran nasional. Oke, sepertinya lebih baik kita bahas bukunya saja.

Gagasan adalah Substansi

Menulis adalah kegiatan berpikir. Bahan bakarnya adalah gagasan si penulis. Ya, setiap orang punya gagasan, bedanya penulis atau pengarang punya caranya sendiri bagaimana mengungkapkan gagasan itu. Walija melalui Komposisi-nya ini memberikan kita hakikat dari aktivitas mengolah gagasan, terkhusus mengolahnya menjadi karangan atau karya tulis.

Dalam prakatanya, ia menyebutkan, "buku ini mencoba membekali pembaca untuk terampil menulis, baik menulis ilmiah maupun non-ilmiah. Kita semua mempunyai gagasan, tetapi tidak semua kita pandai menuliskannya." Ternyata, tulis dia, keterampilan menulis tidak cukup hanya dengan bermodal gagasan. 

Walija menekankan bahwa setiap gagasan yang kita miliki harus diperkuat dengan pengetahuan, yang bisa kita dapatkan dengan aktivitas membaca. "Membaca merupakan modal awal seorang penulis," begitu tulisnya.

Lalu, apa itu gagasan? Bagaimana mengolahnya menjadi karya tulis? Tentu, soal ini kita sangat memerlukannya di era informasi serbateks ini. Gagasan kita pahami sebagai pokok pikiran. Setiap penulis menuangkan gagasannya dalam rangkaian kalimat. Gagasan itulah yang membuat tulisan memiliki ciri khas, memiliki ruh.

Menurut Walija, gagasan adalah hasrat berupa pesan batin yang dimiliki oleh seseorang yang dapat diketahui dari tuturan atau tulisannya. Gagasan dibentuk oleh beberapa unsur, seperti keinginan, kebutuhan, pendapat, renungan, pengalaman, pengamatan, sikap, dan pengetahuan seseorang tentang sesuatu.

Gagasan merupakan substansi dalam sebuah tulisan. Sehingga, dengan gagasan itulah kita dapat menyelesaikan tulisan dengan selamat sentosa. Gagasan yang sudah tersusun rapi di dalam benak kita akan membuat kita mudah menuangkannya dalam tulisan. Namun, jika gagasan belum matang bisa jadi tulisan kita berantakan.

Dalam menulis karya ilmiah misalnya, gagasan harus diperkuat pada bagian pendahuluan (mencakup latar belakang dan rumusan masalah), sebab jika di bagian pendahuluan masih berantakan, akan berpengaruh ke bab-bab berikutnya. Dalam menulis karya non-ilmiah pun demikian. Katakanlah menulis artikel populer seperti tulisan yang kamu baca sekarang. Jika tidak dituntun oleh gagasan, niscaya akan berantakan dan pesan pentingnya tak sampai.

Strategi Menulis

Warren dalam Memikirkan Kata mengungkapkan, "Menemukan ide itu mudah, yang susah menulisnya." Sebagai penulis kita tentu pernah merasakan sulitnya menulis paragraf pertama, sulitnya merangkai kata-kata yang pas untuk mewakili isi kepala kita dengan sebaik-baiknya, dan sebagainya. Dalam hal itulah, kita sebagai penulis tentu harus tahu apa yang dibutuhkan dan apa saja yang akan dipaparkan. Ya, seperti kata Walija, mutu tulisan bisa kita ciptakan dengan mempunyai tiga hal, substansi karangan, strategi mengarang, dan gaya penyajian.

Yang pertama, Walija dalam catatannya menyebutkan bahwa substansi karangan atau gagasan dapat disampaikan dengan sekurang-kurangnya lima cara, yaitu pemaparan atau eksposisi, argumentasi, narasi, deskripsi, dan persuasi. Hal ini mengacu ke berbagai karangan di media massa yang penerapannya sesuai dengan kebutuhan.

Yang kedua, strategi mengarang ini berkaitan dengan perencanaan untuk mulai menulis sampai karangan jadi dan dipublikasikan. Di antara strategi ini adalah menjawab pertanyaan seputar apa yang ingin dituliskan, siapa sasaran pembacanya, di mana bisa didapatkan sumber referensinya, dan di mana akan dipublikasikan. Pada bagian ini, kita juga jangan melewatkan proses penyuntingan atau reviu terhadap karya tulis kita agar bisa menghasilkan tulisan yang baik.

Yang ketiga, gaya mengarang sesungguhnya dapat dilihat dari hasil akhir atau karangannya. Gaya kepengarangan berkaitan dengan penggunaan bahasa, pengungkapan ekspresi, pemilihan diksi atau istilah, dan sebagainya. Setiap penulis tentu punya gaya masing-masing dalam menyajikan gagasannya. Maksud gaya mengarang di sini terkesan mewanti-wanti agar kita tidak menjiplak gaya pengungkapan orang lain dalam mengarang. 

Sebisa mungkin kita menghasilkan karya yang genuine dan menciptakan ciri khas atau gaya sendiri. Memang, pasti untuk mencapai titik itu membutuhkan proses yang panjang, tapi bukan berarti mustahil. Biasanya, untuk memperoleh gaya yang meyakinkan kita dapat mengendapkan tulisan terlebih dahulu setelah setelah selesai ditulis. Kemudian, beberapa waktu berselang kita baca kembali dan lakukan perbaikan di sana-sini.

Sebagai catatan penutup, buku Komposisi terbilang panduan yang lengkap karena memberikan sejumlah contoh karangan sesuai pembahasan di dalamnya. Selain itu, terdapat beberapa panduan praktis menulis, seperti soal kebahasaan, tanda baca, dan format penulisan. Kemudian, karena buku ini biasanya menjadi bahan ajar, di dalamnya juga terdapat soal latihan yang terletak di tiap akhir bab.

Buku ini memang tak seperti referensi pada umumnya, tetapi bagi kita yang mau belajar menulis, buku ini bisa sangat membantu kita mengenali potensi dan menghadapi hambatan-hambatan dalam menulis. Ikan tawas berenang-renang. Meski buku lawas, ini menarik untuk dibuka berulang-ulang.




Posting Komentar

0 Komentar