Puisi Betawi: Dari Mantra Turun ke Puisi

Ahmad Soleh
Cipete, 12/9/2024


“Puisi itu berawal dari mantra,” ujar Babeh Edy dalam pelatihan menulis puisi Betawi di kampus FKIP Uhamka, Jln Tanah Merdeka, kemarin (11/9/2024). Aku hadir dalam kegiatan itu sebagai peserta. Jujur saja, aku penasaran dengan apa yang dimaksud dengan “puisi Betawi”. Apakah ada pola tertentu dalam penulisannya? Apakah ada kekhasan tertentu seperti geguritan dan tembang dalam kebudayaan orang Sunda?

Mantra itu merupakan rangkaian kata-kata yang diyakini, serupa jampi-jampi, doanya orang zaman dulu. Namun kemudian seiring perkembangannya, ketika ajaran agama masuk dalam kehidupan masyarakat, mantra-mantra itu disesuaikan dengan ajaran dan nilai agama. Pernah dalam suatu pengajian, seorang ustaz menjelaskan bahwa lagu Bang Ben (Benyamin S), “eh ujan gerimis aje” itu mengandung pesan-pesan agama.

Lagu yang kental dengan budaya Betawi, dengan lirik berciri khas pantun, itu mengajarkan salah satu sunah Nabi, yakni menikah di bulan Syawal. Perhatikan lirik pada bagian ini:

“Eh, ujan gerimis aje
Ikan bawal diasinin
Eh, jangan menangis aje
Bulan Syawal mau dikawinin”


Kembali ke leptop. Dari mantra, jampi-jampi, kemudian lahirlah peribahasa. Peribahasa adalah salah satu bentuk kearifan dalam melihat suatu fenomena. Peribahasa, menggunakan bahasa ungkapan yang khas dan dapat diterima semua kalangan. Umumnya peribahasa berisi nasihat atau perumpamaan.

Sementara pantun memang lahir dari kesusastraan lama, yakni sastra lisan. Dalam kebudayaan Sunda, pantun digunakan untuk mengisahkan sejarah. Sementara dalam kebudayaan Betawi, pantun merupakan sastra lisan yang digunakan untuk ritual tertentu. Salah satunya adalah ritual palang pintu dalam pernikahan tradisional Betawi.

Pantun yang kita kenal yaitu bentuk sajak empat baris. Dua baris pertama berisi sampiran. Dua baris berikutnya yaitu isi atau pesan dari pantun itu. “Sampiran itu bebas, karena yang penting isinya,” kata Babeh Edy.

Salah satu ciri paling khas dari pantun adalah rima atau sajak A-B-A-B di setiap akhir kalimatnya. Lalu, apakah pantun sama dengan puisi? Pantun masuk ke dalam salah satu bentuk puisi lama karena di dalamnya terdapat persajakan. Jadi, jika ada puisi yang berpola A-B-A-B, sebetulnya sah saja disebut puisi. Meskipun begitu, tidak selalu puisi berpola demikian bisa disebut pantun. Karena puisi secara umum tidak mengharuskan ada sampiran dan ada isi dalam barisnya. Bahkan, puisi saat ini sangat bebas, satu bait bisa terdiri atas beberapa baris, bukan hanya empat baris.

Kemudian, dijelaskan bahwa secara umum, puisi betawi itu syaratnya ada tiga, yaitu: Pertama, bahasa yang digunakan dalam puisi Betawi adalah bahasa santai, bisa juga menggunakan diksi-diksi khas orang Betawi. Kedua, konten atau isinya yakni menceritakan tentang Jakarta atau kebudayaan dan perilaku orang Betawi. Ketiga, orangnya siapa, artinya sebuah puisi bisa disebut puisi Betawi bergantung dari profil penulisnya, apakah dia orang betawi ataupun memiliki keahlian dan kredibel untuk membahas soal Betawi.

Dari ketiga syarat itu, kita dapat menerapkan salah satunya saja untuk menciptakan puisi Betawi. Namun, tidak ada pengharaman juga jika mau menerapkan beberapa poin sekaligus. Jika melihat poin ketiga, apakah yang bukan orang Betawi boleh membuat puisi Betawi? Tentu saja, tidak harus orang Betawi asli. Kita sebagai pendatang di Jakarta maupun yang sehari-hari beraktivitas di Jakarta bisa menggambarkan situasi, tempat, ataupun orang-orang yang kita temui di Betawi.

Puisi terbentuk dari struktur fisik dan batin. Struktur fisik yakni berkaitan dengan diksi, bahasa, rima, dan tipografi. Sementara struktur batin yakni tema, rasa, dan pesan yang terkandung di dalam puisi tersebut. Oleh sebab itu, dalam menulis puisi, yang perlu diperhatikan adalah penggunaan bahasa dan kata-kata. Karena dalam puisi, kata-kata adalah senjata.

Babeh Edy juga menjelaskan bahwa puisi terdiri atas sejumlah elemen penting, yakni bahasa sebagai media pengucapan, bahasa tidak sekadar media tetapi tujuan, dan kata-kata. “Bahasa adalah modalnya,” ungkapnya. Maka, dalam menulis puisi Betawi juga perlu memperhatikan diksi atau bahasanya. Apalagi, menurut Babeh Edy, dialek bahasa Betawi itu berbeda dengan dialek Jakarta. “Bahasa Jakarta sudah bercampur,” jelasnya.

Sementara bahasa Betawi asli kini sudah banyak mengalami pergeseran. Ada kosakata Betawi lama yang kembali populer, contohnya kata “ngadi-ngadi”. Dalam masyarakat Betawi, ngadi-ngadi berarti serbasalah. Sementara, dalam bahasa Jawa, ada kata “ngadi-adi” yang artinya “manja”. Sementara dalam masyarakat saat ini ngadi-ngadi berarti mengada-ada, banyak tingkah. Jadi, perkembangan dan pergeseran makna bahasa itu juga terjadi dalam perkembangan bahasa Betawi sebagai bahasa masyarakat.

Pada sesi akhir pelatihan yang diselenggarakan Pusat Studi Betawi ini, Babeh Edy memberikan pesan penting mengenai modal dalam menulis puisi. Menurut dia, modal untuk menulis puisi itu ada tiga hal, yakni: 1) Fakta empiris, yakni berkaitan dengan pengalaman yang dialami diri sendiri maupun pengalaman orang lain; 2) Fakta Individual, yakni ketika ada momentum yang melibatkan kita sebagai individu yang kemudian kita catat; 3) Fakta Imajinatif/kontemplatif, yaitu hal-hal yang berkaitan kita merenung mempelajari mengkaji.

Ya, aku pikir tiga hal ini memang penting sekali dalam proses mencipta puisi. Puisi tidak hanya menceritakan pengalaman dan perasaan individual, tetapi juga berisi permenungan yang dalam. Di pelatihan ini, para peserta diajak membuat puisi Betawi. Beberapa peserta berhasil membuat satu atau dua judul puisi, kemudian dibacakan dan diberikan komentar dan masukan. Kegiatan yang menyenangkan dan menggugah.

Budayawan Betawi, Penyair, & Rektor Umbara, Dr. Sukardi (Babeh Edy)

Peserta Pelatihan Menulis Puisi Betawi

Penulis buku Hujan Ibu Kota (Salma, Ayu, Soleh) bersama Babeh Edy.


Posting Komentar

0 Komentar