Es Teh Manis

Ahmad Soleh
5 Desember 2024

Ungkapan "lebih baik jualan es teh daripada jualan agama" ramai berseliweran di postingan media sosial. Penyebabnya, viral sebuah video berisi Gus Miftah mengolok-olok pedagang es teh yang tengah berjualan di acara pengajian. Di tengah kondisi ramai itu, terlontar olokan dan kata-kata kasar "goblok" dari mulut pria bernama lengkap Miftah Maulana Habiburrahman.

Guyon atau bercanda memang hal yang wajar di sebagian besar masyarakat kita. Namun, dalam kondisi tertentu, apalagi di hadapan orang banyak, guyonan bisa jadi bernada bully-an. Reaksi publik pasti geram dengan apa yang dilakukan Gus Miftah, apalagi dia di dalam pemerintahan Presiden Prabowo ditunjuk sebagai utusan khusus.

Sebagai penggemar es teh manis, tentu aku juga geram dan kesal dengan "olok-olok" tersebut. Merasa tidak sreg dengan apa yang dilontarkan di muka publik itu. Masyarakat kita memang suka guyon, suka menyaksikan pengajian yang lebih banyak "ketawanya" daripada "mikirnya", tapi bukan berarti kita menormalisasi pembullyan verbal di muka umum. 

Guyon dalam bentuk mengolok status, menertawakan kesulitan orang lain, ataupun merendahkan orang lain sangatlah tidak mencerminkan sikap empati. "Seharusnya mereka dibela dan diberdayakan, bukan dihina-hina," bunyi kutipan berita di laman Republika online. Terlebih, hal semacam itu tidak pantas disampaikan seorang "utusan khusus" kepada rakyat yang sedang berusaha menghidupi dirinya sendiri. Sedih rasanya jika negara kita diisi oleh orang-orang yang demikian buruk komunikasi publiknya.

Viralnya guyon yang dilontarkan Gus Miftah ini jangan sampai membuat kita salah kaprah menyikapi candaan. Guyon yang biasa dilontarkan di tongkrongan belum tentu bisa diterapkan di semua kondisi dan semua orang. Ya, kita tidak tahu kondisi orang yang diolok di hadapan orang banyak itu sebenarnya seperti apa.

Mungkin sesaat banyak yang terpancing dan ikut tertawa terbahak-bahak, ngakak abis, mendengar candaan itu. Tapi, beberapa saat kemudian, kita akan sadar bahwa hal itu tidaklah benar. Nurani berbisik. Dan begitulah seharusnya.

Bayangkan saja jika kita menjadi penjual es teh itu. Sedang lelah menjajakan dagangan, belum ada yang membeli, baru laku sedikit, lalu dijadikan bahan guyonan sampai keluar kata-kata yang tidak etis dan merendahkan. Bagaimana rasanya?

Mungkin sakit hati atau marah. Mau melawan pun tak ada daya. Apa yang ditunjukkan bapak Sunhaji, penjaja es teh, itu hanya bisa bersabar, menahan amarah. Mungkin juga menahan rasa malu. "Pentingnya adab di atas ilmu," begitu kata warganet.

Ini harus menjadi pelajaran buat kita semua. Jualan es teh manis memang tak selalu untung manis. Tetapi percayalah bersikap merendahkan orang lain itu ada akibatnya. 

Btw, sejumlah media massa mulai menyebutnya Miftah Maulana tanpa "Gus". Misalnya, Tempo, CNN, dan Kompas. Semoga media massa lain juga dapat bersikap, minimal mulai menempatkan sapaan "Gus" pada tempatnya.


Sumber gambar: static.promediateknologi.id 

Posting Komentar

0 Komentar