Ahmad Soleh
Depok, 14 September 2024
Jakarta bukan lagi menjadi ibu kota negara. Ini adalah fakta yang harus kita terima pasca ditekennya UU DKJ (Undang-Undang No 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta). Dalam UU yang diteken pada 24 April 2024 itu diatur bagaimana proses pemindahan ibu kota dari Jakarta ke IKN. Proses pemindahan status ibu kota negara ini masih tertahan karena menunggu IKN selesai masa pembangunannya.
Meskipun tak lagi menjadi ibu kota, Jakarta akan tetap menjadi daerah khusus yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah peradaban bangsa. Jakarta adalah pusat kehidupan bagi sebagian besar masyarakat. Jakarta adalah tempat banyak orang menggantungkan harapan dan menggapai impian. Bahkan, Jakarta dicanangkan menjadi pusat ekonomi skala nasional dan global. Jakarta akan tetap ramai (dan mungkin jalanannya tetap macet).
Wacana mengenai Jakarta ini dipikir-pikir memang menarik. Apalagi, jika kita mengkajinya lebih mendalam. Sewaktu mengikuti kegiatan pelatihan menulis puisi Betawi beberapa hari lalu, ada ungkapan menarik yang diungkapkan Bang Aim, penggerak Pusat Studi Betawi. “Ke depan, local wisdom (kearifan lokal) akan menjadi kekuatan peradaban,” ujarnya. Kalimat ini menarik karena dalam pembahasannya dikaitkan dengan budaya Betawi yang hidup hari ini, yang merupakan entitas kearifan lokal warga Jakarta.
Seperti kita tahu, Jakarta merupakan kota besar yang di dalamnya banyak budaya yang hidup dan saling berinteraksi. Bahkan, Jakarta Bang Aim berpandangan bahwa kian kemari Jakarta semakin mengglobal. Dengan beragam identitas suku dan budaya yang hidup di dalamnya, Jakarta menjelma menjadi rumah besar yang dihuni beragam latar belakang manusia.
Ditambah lagi, Jakarta memberikan resonansi kebudayaan pada daerah penyangga lainnya, mulai dari Tangerang, Banten, Depok, dan Bogor. Bahkan, spektrum resonansi itu menyebar lebih besar tatkala Jakarta menjadi sorotan di berbagai media yang dapat diakses publik. Sebegitu besar magnet Jakarta. Bahkan, jika dipandang dari sisi politisnya, para politikus berebut kesempatan menjadi pemimpin Jakarta. Sayangnya, kesempatan itu tak selalu ada.
“Betawi tidak hanya dipandang sebagai komunitas kewilayahan, malah akan jadi kultur peradaban,” ujar Bang Aim saat memberikan sambutan. Aku pikir apa yang diungkapkan Bang Aim ini merupakan sebuah ungkapan spekulatif, tetapi cukup berdasar. Alasan kuatnya adalah Jakarta sudah menjadi poros peradaban, tempat tumbuhnya kebudayaan, tempat bertemunya kebudayaan yang berbeda dari berbagai daerah. Dalam kondisi demikianlah, budaya Betawi yang merupakan “tuan rumah” di Jakarta sudah semestinya hidup dan memberikan warna pada peradaban.
Betawi bukan lagi hanya menjadi identitas kewilayahan, tetapi menjadi nilai universal yang membawa dampak psikologis bagi orang-orang. “Jadi, jangan-jangan Betawi itu bukan genetika, tetapi psikologikal,” ujarnya. Artinya, Betawi dapat dimiliki, secara sadar ataupun tidak, tidak hanya oleh orang asli Jakarta, melainkan juga orang-orang pendatang yang beraktivitas di Jakarta ataupun orang-orang dari daerah lain.
Hal ini juga didasari dengan argumentasi bahwa Jakarta telah lama menjadi kota yang terbuka dalam menunjang kota-kota di sekitarnya. Saban hari, banyak orang hilir mudik, dari luar Jakarta ke Jakarta untuk mencari nafkah, bekerja, berkuliah, ataupun aktivitas lainnya. Dalam penyampaiannya, Bang Aim menjelaskan bahwa budaya atau kearifan lokal itu harus dirawat, baik dalam forum-forum kajian akademik, komunitas, maupun dalam berkarya.
Dalam konteks berkarya inilah gagasan menulis puisi Betawi menjadi upaya untuk menguatkan kearifan lokal itu. Bukan untuk semata melestarikan Jakarta sebagai sebuah monumen peradaban. Tetapi justru menjadikannya pijakan hidupnya sebuah peradaban. Menurutku, puisi dapat menjadi medium yang tepat untuk menguatkan nilai-nilai dan pesan kepada khalayak.
Tentu saja, pengalaman, persinggungan, pemikiran, dan imajinasi penulis tentang Jakarta ini dapat menjadi modal mengembangkan tema-tema yang menarik untuk dituangkan dalam puisi. Tinggal bagaimana kita dapat berkontemplasi dan mencoba merekonstruksinya menjadi karya yang tidak hanya indah, tetapi bermakna. []
0 Komentar