Saat tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta malam hari itu, aku merasa banyak hal di sana berubah. "Pangling saya Pak, beda banget," kataku kepada Pak Ivan yang telah menunggu di sana.
Ya, aku baru saja tiba di Yogyakarta. Tujuanku kali ini adalah menghadiri undangan dari Madrasah Muallimaat Muhammadiyah Yogyakarta. Di sana, aku pun bertemu dengan 1.400-an siswi.
Dalam kegiatan bertajuk Haflatul Maktabah (Gebyar Perpustakaan) itu, aku melihat banyak hal menakjubkan. Mulai dari semangat para siswi (santriwati) yang menyeruak, sampai karya-karya literasi sivitas Muallimaat yang bejibun. Bagiku ini sangat hebat.
Ustaz-ustazah (sebutan bagi guru di sana) yang produktif menulis, terbukti dengan banyaknya buku solo maupun antologi. Kemudian, di sebuah rak yang dipajang di sudut sekolah, aku juga melihat sejumlah buku antologi yang menarik. Juga karya pustakawan Yoga Pratama. Mas Yoga inilah yang meminta aku untuk hadir di acara itu.
Ketakjuban lainnya adalah ketika ada siswa yang membacakan puisi "Mata Luka Sengon Karta" karya Peri Sandi Huizche. Dengan menggebu dan ekspresif ia membacakan puisi itu. Siswi bernama Hana itu mengaku menyukai puisi Wiji Thukul. Ia mengaku suka lantaran puisi Thukul menyajikan gambaran dan kritik atas realitas sosial-politik.
Selain Hana, ada sejumlah siswi lainnya yang berpendapat, sharing buku bacaan, dan memberikan pertanyaan. "Saya yakin di sini akan lahir tokoh-tokoh perempuan hebat," kalimat ini pun mengalir begitu saja dari dalam kepalaku. Keyakinan yang tampaknya tak terbantahkan, sebab memang sudah banyak tokoh perempuan yang merupakan alumnus Muallimaat.
Jujur saja, aku merasa kecil berada di sana. Apa yang mereka dapatkan seusia sekarang (SMP-SMA), jauh dari apa yang kudapatkan semasa sekolah dulu. Mereka sudah bisa mengakses buku-buku sastrawan Indonesia, mulai dari Seno Gumira Ajidarma, Sapardi, Wiji Thukul, Cak Nun, hingga Tere Liye.
Sementara, akses buku bacaan saat aku masih sekolah sangatlah minim. Aku hanya bisa membaca sejumlah buku sejarah milik kakakku yang nyantri di Cirebon dan beberapa novel Lupus, majalah Bobo bekas, dan komik Kung Fu Boy lusuh yang kutemukan di rumah. Sepertinya itu milik kakakku juga. Sementara di sekolahku tidak ada perpustakaan. Menyedihkan sekali.
Karena itulah aku berpesan kepada mereka untuk terus membaca dan menulis. "Menulis itu bisa membawa kita ke kemungkinan yang tak terduga, saya berada di sini hari ini karena saya menulis," kataku. Dan aku masih akan terus membaca dan menulis.
Mengutip pernyataan AS Laksana, menulislah sekalipun kita bukan penulis karena dengan menulis kita sudah melatih kemampuan berpikir. "Percayalah, tulisan itu suatu saat akan ada manfaatnya," aku menambahkan.
Menunggu pagi di Stasiun Pasar Senen
29 Oktober 2023
Karena itulah aku berpesan kepada mereka untuk terus membaca dan menulis. "Menulis itu bisa membawa kita ke kemungkinan yang tak terduga, saya berada di sini hari ini karena saya menulis," kataku. Dan aku masih akan terus membaca dan menulis.
Mengutip pernyataan AS Laksana, menulislah sekalipun kita bukan penulis karena dengan menulis kita sudah melatih kemampuan berpikir. "Percayalah, tulisan itu suatu saat akan ada manfaatnya," aku menambahkan.
Menunggu pagi di Stasiun Pasar Senen
29 Oktober 2023
0 Komentar