Bulan Oktober kita kenal sebagai bulan bahasa. Ini mengingatkan kita pada ikrar Sumpah Pemuda yang salah satu poinnya mengikrarkan "Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia." Bahasa menjadi salah satu alat yang merekatkan anak bangsa pada masa itu.
Ikrar Sumpah Pemuda ini juga sempat dibacakan oleh seorang siswa SMA Muhammadiyah 25 Setiabudi Pamulang dalam kegiatan Gebyar Bulan Bahasa pada 25 Oktober kemarin. Saat itu, aku berkesempatan hadir dan memberikan sumbang pikir untuk helatan peringatan Bulan Bahasa.
Kurang pas rasanya membicarakan bulan bahasa tanpa proses lawatan sejarah. Ya, sebab bulan ini erat kaitannya dengan momen bersejarah sepanjang perjalanan bangsa.
Aku kembali membuka sejumlah ulasan. Terkhusus soal penamaan bahasa Indonesia. Aku membaca buku Bahasa Indonesia Bahasa Kita karangan Ajip Rosidi dan Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia karangan Harimutri Kridalaksana.
Bagiku kedua tokoh di atas pantas sekali untuk dirujuk terutama kaitannya dengan perkembangan bahasa Indonesia. Ajip, misalnya, menulis sejumlah buku soal kebudayaan, sastra, sastra Sunda, kamus, dan sejumlah buku sejarah sastra. Tak luput soal bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia Bahasa Kita menyajikan pandangan-pandangan seputar sejarah dan perkembangan bahasa Indonesia. Ajip menulisnya dalam format esai populer. Sehingga tak disusun secara runtut. Tapi menurutku ini memudahkan bagi orang yang malas membaca. Karena membaca buku ini tidak harus seluruhnya habis. Ya, kita bisa memilih judul atau topik yang kita inginkan saja.
Yang berikutnya, sosok Harimurti Kridalaksana memang seorang guru besar yang menaruh perhatian besar pada bahasa Indonesia. Aku sering mendengar (membaca) namanya dalam sitasi atau kutipan buku pegangan kuliah dulu. Saat suatu ketika menemukan buku tipis hasil risetnya tentang sejarah bahasa Indonesia, aku langsung tertarik dan membelinya.
Buku terbitan Pustaka Obor dengan kover biru tua itu memang sangat akademis. Mulai dari susunan yang sistematis, gaya bahasanya yang lugas tanpa basa-basi, dan pembahasannya yang fokus pada satu titik. Ya, masa-masa awal bahasa Indonesia.
Kridalaksana melakukan sejumlah penelitian akademis yang ketat untuk menulis buku itu. Meskipun terkesan membosankan, buku ini sangat bagus. Dan karena tipis, kita jadi tak buru-buru malas saat melihat fisik bukunya.
Pencetus Bahasa Indonesia
Dalam kegiatan Bulan Bahasa itu, saya bertanya kepada sekitar 400 peserta yang hadir tentang siapa saja tokoh yang memelopori Sumpah Pemuda. Rata-rata mereka menyebutkan M Yamin. Ya, memang M Yamin berperan sebagai pemuda pada masa itu. Tapi, apakah ia pencetus bahasa Indonesia? Jawabannya adalah bukan.Ya, bukan Yamin yang mencetuskan frasa "bahasa Indonesia" dalam teks Sumpah Pemuda yang ia susun. Saat itu, teks Sumpah Pemuda masih menggunakan frasa "bahasa Melayu". Setidaknya inilah yang dicetuskan dalam Kongres Pemuda I (30 April-2 Mei 1926, dua tahun sebelum Sumpah Pemuda).
Lalu, siapa yang mencetuskan? Secara umum memang yang mencetuskan itu ialah pemuda-pemudi Indonesia yang saat Sumpah Pemuda berikrar. Tetapi, siapa yang berhasil mengubah teks itu? Pasti ada orang yang memengaruhi Yamin sampai akhirnya bisa mengubah frasa "bahasa Melayu" menjadi "bahasa Indonesia".
Bahasa Melayu memang menjadi lingua franca (bahasa penghubung) bagi pemuda dari berbagai suku bangsa pada masa itu. Ia juga menjadi cikal-bakal lahirnya bahasa Indonesia. Pada saat Kongres Pemuda I, terjadi perdebatan soal bahasa. Saat itu, karena belum ada bahasa Indonesia, M Yamin masih menggunakan "bahasa Melayu" dalam teks yang disusunnya.
"Kalau kita sudah mengaku bertanah air Indonesia dan berbangsa Indonesia, kenapa kita tidak mengaku bahwa kita berbahasa Indonesia?" Dialah Moh. Tabrani, sosok jurnalis yang juga saat itu menjadi sekretaris dalam Kongres Pemuda I, yang dengan ngotot mengusulkan agar bukan "bahasa Melayu" yang perlu diikrarkan, tetapi "bahasa Indonesia".
"Kalau bahasa Indonesia belum ada, kita buat sekarang!" Begitulah kiranya dia menegaskan dan meyakinkan Yamin pada Kongres Pemuda I. Sehingga, dua tahun berselang, pada 28 Oktober 1928, teks Sumpah Pemuda itu diikrarkan. Teks Sumpah Pemuda seperti yang kita kenal saat ini. Dan kita tidak sedang berbahasa Melayu, tapi bahasa Indonesia.
***
Bagiku, jejak sejarah ini masih terus bergulir. Bahasa Indonesia yang begitu dinamis kini memiliki peluang dan potensi yang besar. Dengan bahasa daerah yang terus dilestarikan dan penetrasi ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi, bahasa Indonesia kian berkembang. Tinggal bagaimana kita bangga sebagai penuturnya.
Bahasa mencerminkan jati diri seseorang. Itulah yang kugulirkan kepada peserta seminar saat itu sebagai refleksi kritis. Berbahasa di ruang nyata maupun ruang maya, harus memperhatikan etika dan nilai yang berlaku. Maka, proses berbahasa yang baik, semestinya juga diikuti dengan perilaku yang baik.
0 Komentar