"Ayah, kenapa kalo lagi Zoom, harus ditulis sih?" ini pertanyaan anakku, Rausyan, Bocah berusia empat tahun.
"Ini namanya dicatet, An, biar ada catetannya nanti buat dibaca lagi. Kan ayah lagi belajar," jawabku menjawab pertanyaannya yang lugu itu.
Ya, malam tadi aku menjalani rutinitas seperti biasa, mengikuti kuliah filsafat bersama Pak Sugeng. Topik yang cukup berat mengenai "Apakah ilmu itu bebas nilai?"
Bagiku ini pertanyaan yang sulit sekali. Di satu sisi, rasanya ilmu pengetahuan itu memang harus objektif dan bebas nilai. Namun, di sisi lain, aku berpikir ilmu itu harus mmeiliki keberpihakan, yang artinya ia tidak boleh bebas nilai.
Ya, aku pernah membaca soal ini dalam buku Mansour Fakih berjudul Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, buku yang entah sudah ke mana. Di buku itu, ada satu alinea yang selalu kuingat.
"Ini namanya dicatet, An, biar ada catetannya nanti buat dibaca lagi. Kan ayah lagi belajar," jawabku menjawab pertanyaannya yang lugu itu.
Ya, malam tadi aku menjalani rutinitas seperti biasa, mengikuti kuliah filsafat bersama Pak Sugeng. Topik yang cukup berat mengenai "Apakah ilmu itu bebas nilai?"
Bagiku ini pertanyaan yang sulit sekali. Di satu sisi, rasanya ilmu pengetahuan itu memang harus objektif dan bebas nilai. Namun, di sisi lain, aku berpikir ilmu itu harus mmeiliki keberpihakan, yang artinya ia tidak boleh bebas nilai.
Ya, aku pernah membaca soal ini dalam buku Mansour Fakih berjudul Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, buku yang entah sudah ke mana. Di buku itu, ada satu alinea yang selalu kuingat.
Kurang lebih bunyinya begini: "Saat ilmu sosial netral, ia akan mudah dimanfaatkan oleh orang yang memiliki kuasa dan kepentingan. Sebab itulah ilmu harus berpihak, tidak boleh netral."
Selain itu, aku juga teringat bagaimana Prof. Kuntowijoyo memunculkan Ilmu Sosial Profetik. Pengembangan ilmu sosial ini tidak bebas nilai, sebab ia diilhami oleh nilai-nilai yang dihasilkan dari tafsiran agama, yakni Ali Imran ayat 110.
"Sosialis-religius itu sebenarnya dekat dan hampir serupa dengan humanisme di Barat," begitu kata Pak Sugeng. Dengan begitu, apa yang dilakukan Kuntowijoyo sebetulnya bukan membuat antitesis (bantahan), melainkan melengkapi tesis yang sudah dikembangkan di ranah Barat.
Ya, nilai (moral dan agama) itu yang memandu ilmu dan pengembangannya.
0 Komentar