Keresahan mengenai lesunya industri perbukuan barangkali sudah mulai dirasakan banyak orang. Terutama mereka yang berkecimpung, terlibat, dan berperan langsung dalam industri perbukuan. Katakanlah industri ini sebagai wajah dari betapa pasinya wajah literasi kita di era gempuran joget Tiktok dan obrolan ringan di podcast ini.
Beberapa waktu lalu, aku sempatkan mampir ke toko buku yang cukup terkenal di Jogja. Kedai Jual Buku Sastra alias JBS. Aku sudah lama mengenal JBS sebagai toko buku online. Setidaknya saat aku mencari referensi buku lawas mengenai sastra. Ingat betul, waktu itu aku membeli buku Kembali ke Akar Kembali ke Sumber karangan Abdul Hadi WM.
Seiring waktu berjalan, JBS pun memantapkan diri menjadi penerbit buku-buku sastra. Terbitannya menurutku bagus-bagus. Mulai dari buku sajak sampai esai-esai sastra. Dan beruntungnya, dalam kesempatan itu aku sempat mengobrol dengan owner JBS, penyair sekaligus pegiat perbukuan. Indrian Koto namanya.
Dalam obrolan santai siang itu, Mas Koto bercerita tentang bagaimana penerbit JBS bekerja melahirkan buku-buku. Yang tentu bikin aku penasaran adalah bagaimana proses JBS menerbitkan karya penulis-penulis hebat seperti Hasan Aspahani, M. Aan Mansyur, dan Afrizal Malna.
JBS memang bukan lagi toko buku yang ala kadarnya. Perubahan yang ditempuh membuat JBS menjadi penerbit buku, khususon buku-buku sastra, yang cukup dikenal dan dihitung. Bahkan, sejumlah buku terjemahan pun sudah digarap.
Selain terkait dengan penerbitan, aku juga berbincang tentang penjualan buku. Sebagai pedagang buku, aku sendiri merasakan bagaimana daya beli masyarakat terhadap buku cetak kian lesu. "Kalah sama marketplace Mas. Di sana diskonnya gila-gilaan, juga gratis ongkir," ujar Mas Koto.
Ia pun bercerita bahwa dalam proses cetak, untuk meminimalisasi kemungkinan rugi, JBS tidak mencetak dalam jumlah massal. "Kami cuma berani cetak per 100, Mas. Jadi, kalau 100 exp sudah habis baru kami cetak 100 berikutnya."
Biaya produksi untuk sebuah judul buku baru menutup ketika buku ke-200 ludes terjual. Artinya apa? Ya, penerbit harus sangat berani menomboki modal awal untuk cetak. Bayangkan bila buku tidak terjual habis, rugilah kantong penerbit. "Satu judul itu, untuk buku tipis (100 hlm), kalau dihitung-hitung mungkin bisa 4 juta-5 juta biaya produksinya," kata Mas Koto menjelaskan, biaya itu untuk membayar jasa editing, layout, dan segala rupa.
Aku tak terlalu heran sebetulnya. Sebab, sejak beberapa tahun belakangan, ongkos produksi dan biaya belanja bahan kertas sangat terasa kenaikan harganya. Mungkin bila mau diriset kecil-kecilan, datanglah ke toko buku besar terdekat, rata-rata harga buku dengan ketebalan 100-200 halaman saja sudah di angka 70 ribu-80 ribu rupiah.
Bahkan, ada yang sampai ratusan ribu. Tinggi sekali bukan? Harga fantastis yang tentu tak sebanding dengan daya beli masyarakat yang morat marit.
0 Komentar