Aldi Taher dan Refleksi Politik Kita

27 September 2023
Ahmad Soleh

Aldi Taher menggegerkan podium politik kita beberapa bulan belakangan ini. Wajah, tingkah laku, dan ujaran-ujarannya menambah suasana politik yang riuh rendah semakin ramai. Dari keriuhan itu, ada yang menangkapnya sebagai candaan saja, menjadikannya bahan olokan, ada pula yang terlampau amat serius. Padahal, sih harusnya biasa-biasa saja.

Tak ada yang aneh dengan kehadiran Aldi Taher di gelanggang politik kita. Sebab, sependek pengamatan saya, salah satu jalan pintas menuju panggung politik adalah lewat jalur selebritas. Popularitas, viralitas, dan banyaknya fans menjadi modal utama untuk meraih atensi dan meraup suara. Apalagi, para artis yang pula sudah berkecukupan pundi-pundinya untuk memenuhi cost politik yang katanya tinggi di negeri ini.

Lalu, partai politik bisa apa? Parpol telah lama dinilai banyak pihak telah gagal melahirkan kader bangsa yang autentik. Sebab, kebanyakan parpol melahirkan politikus pragmatis. Dalam catatan sejarah politik di Indonesia, sempat menjadi tren di mana para kepala daerah berasal dari kalangan artis atau menggandeng artis sebagai pasangannya. Tak sedikit pula yang berhasil dengan trik ini. Suara massa begitu mudah digalang dengan "dongkrak antik" berupa kepopuleran sang artis.

Sebut saja artis pemeran Si Doel, Rano Karno, yang mendampingi Ratu Atut di Provinsi Banten tahun 2011. Kemudian Dicky Chandra yang menjadi wakil bupati Garut tahun 2009-2013, Deddy Mizwar aktor kawakan yang moncer menjadi wakil gubernur Jawa Barat 2012-2017, Pasha Ungu menjadi wali kota Palu 2016-2021, Lucky Hakim yang menjabat Wakil Bupati Indramayu tahun 2021-2026 (masih), dan masih banyak lagi.

Parpol Harus Berbenah

Kegagalan parpol memang tak jua lantas membuat kita pesimistis. Sebagai wadah kaderisasi negarawan, parpol harusnya terus berbenah diri. Tidak melulu bicara politik praktis yang transaksional dan pragmatis. Apalagi, menyusun intrik untuk menjatuhkan lawan politik.

Parpol harusnya lebih banyak bicara soal kebangsaan yang lebih luas, edukasi politik kepada masyarakat, dan melakukan aksi-aksi nyata untuk memberantas perilaku kopruptif para politikus sejak dari fase rekrutmen dan berkader di partai. Memang tak bisa disangkali parpol merupakan alat meraih kekuasaan. Sehingga, persinggungan kepentingan akan sangat keras.

Dalam budaya politik menang-kalah memang selalu ada korban, dan yang menjadi korbannya adalah masyarakat. Masyarakatlah yang terimbas perilaku para politikus pragmatis dan koruptif. Bahkan, dalam beberapa waktu belakangan ini, ramai menjadi sorotan karena gaya hidup mewah dan berlebihan. Lalu, dengan kondisi demikian, apakah parpol masih bisa kita andalkan? Atau terus hanya akan menjadi alat untuk meraih kekuasaan belaka?

Kehadiran Aldi Taher yang sempat heboh dengan nyaleg lewat dua partai adalah bukti nyata bagaimana sistem partai begitu rapuh dan keropos di depan popularitas. Entah gimik atau bukan, Aldi Taher memberikan kita wacana baru yang hadir dengan agak nyeleneh. Aldi Taher membuat politik jadi tidak soal panas-panas saja, tetapi lucu, jenaka, dan menyebalkan.

Entah ia serius atau tidak dalam karier politiknya, tapi banyak yang suka dengan kejujurannya menghadapi situasi. Tidak umbar banyak janji. Ia bahkan meminta dipilih agar bisa menjalankan apa yang publik inginkan, tentu dengan kapasitasnya. Sebuah kegilaan yang mungkin hanyalah gimik belaka.

Refleksi Politik Kita

Jalan Aldi Taher memang masih sangat panjang. Keviralan yang hanya sesaat pelan-pelan pasti akan sirna. Bila ia tak sadar dengan segala konsekuensi, ia pun akan ikut tenggelam. Meskipun, tampaknya Aldi Taher tak begitu memedulikan hal itu. Ia sibuk berkarya, konser, dan melakukan hal gila lainnya, yang tak dilakukan politikus, bahkan artis lain.

Di tengah situasi ini kita mesti merefleksikan kondisi politik kita ini. Bila parpol kita tuntut untuk berbenah, publik juga harusnya bisa berbenah menjadi lebih cerdas dan rasional. Politik uang, politik adu domba, narasi kebencian dan sentimen SARA, korupsi, dan hal negatif lainnya bisa kita hentikan dan cegah.

Sentimen dan popularitas barangkali telah mengalahkan rasionalitas publik dalam menentukan pilihan. Namun, belum terlambat untuk kita mulai menjadi lebih rasional. Lebih jujur membaca fakta dan data yang ada. Menjadi lebih dewasa menghadapi perbedaan pandangan dan pilihan politik.

Momentum tahun politik ini jangan sampai berlalu tanpa diskursus substantif mengenai masa depan bangsa. Cita-cita demokrasi dan pemerintahan yang baik (good governance) harus diketengahkan. Selain itu, mesti diiringi pula dengan peningkatan kualitas pemilih yang cerdas, aktif, dan kritis. Bila tidak, momentum ini hanya akan mengulang yang sudah-sudah saja. Memuakkan sekali.




Posting Komentar

0 Komentar