Hari ini merupakan hari pertama saya menjalani masa kuliah magister (S2) di sebuah kampus swasta di Jakarta. Kampus yang cukup besar milik Persyarikatan Muhammadiyah.
Di semester ini, saya mendapat lima mata kuliah, yang saya rasa semuanya penting. Setidaknya untuk kembali menyegarkan isi kepala yang sudah lama tak bercengkerama dengan ruang diskusi akademik dan timbunan tugas kuliah yang menyebalkan.
Atmosfer ini kembali saya rasakan. Pada kuliah perdana ini, saya mendapat dua mata kuliah yang sepertinya akan seru karena berpotensi melahirkan diskursus yang menarik.
Mata kuliah yang pertama ialah Filsafat Kemuhammadiyahan, yang diampu oleh tokoh muda Muhammadiyah, Maneger Nasution. Sebetulnya saya sempat bertemu beliau beberapa tahun yang lalu. Bahkan sempat menjadi moderator untuk acara beliau di kampus. Saat itu saya masih bekerja di sebuah koran nasional ternama. Koran yang akhirnya harus berhenti cetak karena tak kuasa menahan laju zaman yang disruptif.
Ya, zaman terus berubah dengan berbagai kemajuan yang dihasilkannya. Manusia memang mengerikan. Di sisi lain menghasilkan kemajuan, tetapi juga tergerus begitu saja oleh kemajuan itu. Koran mungkin hanya contoh kecil saja. Banyak sektor kehidupan yang terdegradasi oleh kemajuan zaman itu.
Apa kaitannya dengan Filsafat Kemuhammadiyahan? Dalam penjelasan pengantar yang diberikan oleh Dr. Maneger Nasution, Muhammadiyah memiliki gaya ber-Islam yang berkemajuan, baik dalam ekonomi, pendidikan, politik, juga urusan kesetaraan gender dan HAM. Detail mengenai ini akan dibahas dalam beberapa pertemuan ke depan.
Mata kuliah kedua, yakni Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. Sugeng Riadi. Dosen yang sering saya dengar namanya, tetapi belum pernah sekalipun saya ikut kuliah dengan beliau. Beliau memberikan pengantar cukup panjang, tetapi sangat interaktif.
Filsafat menurutnya mesti membuat dialektika. Tujuan belajar filsafat itu supaya kita berdialektika. Begitu ungkapnya. Ya, memang filsafat bagi sebagian orang merupakan sesuatu yang berat. Tetapi imej itu segera akan luntur dengan gaya pembelajaran yang dihadirkan oleh Dr. Sugeng. Saya beruntung bisa mendapat kelas beliau kali ini.
Dan filsafat bagi saya adalah jalan mencari dan menemukan diri. Kunci dari berfilsafat ialah perenungan, permenungan. Merenungkan apa saja untuk kemudian menghadirkan pertanyaan-pertanyaan. Sudah lama tidak berdialektika "mengawang-awang" seperti ini.
Filsafat itu the mother of science, ibundanya ilmu pengetahuan. Dr. Sugeng menjelaskan sejumlah poin penting tentang keberanian berpikir. Beliau pun tak segan menanggapi ragam keresahan dari para mahasiswa yang hadir malam tadi. Ya, menurutnya, langkah awal memaksimalkan akal pikiran adalah dengan terus memancing keberanian berpikir. Memikirkan apa pun, dengan "menggugat", "mempertanyakan", ataupun "tak percaya" alias "skeptis".
Kritisisme itu penting, kita harus melihat sesuatu dengan nalar kritis. Tidak mudah diperdaya. Kira-kira begitu pesannya.
0 Komentar