Ahmad Soleh, 30 September 2023
Tanggal 30 September menjadi salah satu momentum bersejarah, waktu terjadinya peristiwa kelam. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia atau yang kita kenal dengan peristiwa G-30/S-PKI. Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia. Film yang mengerikan selalu diputar setiap tahunnya. Dan dari tahun ke tahun biasanya tak pernah insyaf orang-orang berdebat mengenai sejarah tersebut.
Barangkali memang sejarah dapat dibuat-buat oleh penguasa, atau buku-buku sejarah terlampau melenceng menggambarkan itu? Namun, kisah yang bagi sebagian orang masih mengandung misteri ini terus membuat kita berpikir tentang bagaimana sejarah sebenarnya? Berpihak kepada siapa? Dan seterusnya. Saya tidak akan membahas soal ini lebih jauh.
Sebab, ada hal menyenangkan sekaligus menegangkan bagi saya hari ini. Bertepatan dengan tanggal ini saya mendapatkan suntikan energi baru dari perkuliahan hari ini. Prof Ade Hikmat, misalnya, mengajak berdiskusi seputar bagaimana proses berbahasa reseptif itu amat luas maknanya. Membaca itu jangan dibatasi hanya dengan membaca buku saja. Kita dapat membaca fenomena sosial dan alam semesta.
Proses membaca merupakan upaya kreatif seseorang dalam menyaring informasi. Sehingga, dalam bacaan yang sama pun penerimaan setiap orang dapat berbeda. Prof Ade menyarankan agar saat kita membaca sempatkan juga untuk menulis inti, pokok, catatan kritis dari apa yang kita baca itu.
Sebab, kegiatan membaca akan lebih maksimal bila dibarengi dengan kegiatan menulis. Celah-celah pada barisan teks di buku merupakan ruang yang dapat diisi dengan tulisan kita sebagai pembaca. Membaca kemudian menjadi sarana akselerasi bagaimana kita memahami suatu informasi dan mengubahnya menjadi informasi lain. Untuk itu, Prof Ade mengulas sepintas mengenai buku Quantum Reading.
Membaca lalu menulis kembali apa yang dibaca. Mengubah yang biasa menjadi luar biasa. Begitulah pesan beliau. Sama juga dengan mendengarkan kemudian menulis apa yang didengarkan. Hal itu akan meningkatkan pemahaman dan daya serap kita akan suatu informasi. "Sebab itulah Quantum menjadi merek kompor, ia dapat mengubah yang mentah menjadi masakan," selorohnya.
Sebelumnya, Prof Prima Gusti Yanti juga memberikan kuliah yang amat menarik. Yakni mengenai Metode Pengajaran Bahasa dan Sastra. Topik-topik yang akan disajikan pada pekan-pekan mendatang sangat menarik, kendati hal itu mesti dibarengi dengan daya baca yang kuat. Sejumlah sumber menjadi rekomendasi, salah satunya buku Teaching by Principles, yang membahas secara detail mengenai perkembangan bahasa dan bagaimana pembelajaran bahasa.
Prof Prima menjelaskan perbedaan antara pemerolehan bahasa dengan pembelajaran bahasa. Pemerolehan bahasa adalah proses alamiah yang dialami setiap manusia dalam menyerap hingga akhirnya menggunakan suatu bahasa sebagai alat komunikasi. Seorang anak akan secara otomatis mendapatkan bahasa dari orang tua, lingkungan, maupun pertemanannya.
Sementara pembelajaran merupakan upaya terstruktur dan terencana mengenai kompetensi kebahasaan yang perlu diberikan kepada seseorang secara berjenjang. Hal ini berkaitan dengan pembelajaran di sekolah, yang tentu direncanakan dalam silabus, RPP, maupun capaian-capaian multiaspek sesuai tujuan pembelajarannya.
Menjelang sore tadi, Prof Wini Tarmini menyuguhkan pembahasan diskusi yang agak berat mengenai Linguistik atau ilmu bahasa. Sebetulnya mata kuliah ini sudah pernah dipelajari semasa S1, tetapi tentu sudah banyak yang meninggalkan memori ini. Sehingga kemunculan mata kuliah ini semacam recall atau reinviting ingatan-ingatan itu.
Hal yang menarik dari penyampaian Prof Wini ialah bagaimana linguistik kini akan mengkaji ruang lingkup yang lebih luas atau makro. Sepertinya ini akan menarik karena akan ada kajian mengenai hubungan linguistik dengan berbagai disiplin ilmu, fenomena, kejadian sosial, dan sebagainya. Setidaknya ini kembali memacu untuk terus membaca dan mencari informasi terbaru, terkini, teraktual.
Sebab, dari ketika dosen hari ini, kata kunci yang selalu diulang ialah "kebaruan" atau "novelty" dalam penelitian. Hal ini tampaknya menjadi tuntutan tersendiri bagi jenjang magister. Men-challenge saya untuk berpikir di luar kebiasaan. Melampaui batas kelaziman. Tapi, apa bisa hal itu dilakukan? Dengan sedikit pemberontakan mungkin bisa. Biarlah ini menjadi sebuah manifesto gerakan, Gerakan 30 September Magister Pendidikan Bahasa Indonesia. G-30/S-MPBI!
0 Komentar