Ahmad Soleh, 30 September 2023
Malam ini ceritanya saya naik bianglala. Ini adalah kali kedua, sebab pertama kali saya naik bianglala adalah saat masih seusia SD. Saya tak ingat betul kelas berapa waktu itu. Yang jelas pasar malam dengan komedi putar memang menjadi hiburan cukup mewah bagi masa kecil saya yang hidup di pinggiran Jakarta. Ya, seperti bianglala, waktu pun terus berputar. Memori masa lalu pun berdatangan dan sesekali menyapa.
Setelah naik komedi putar dan bombom car, anak saya tertuju pada satu wahana berbentuk perahu besar dengan lampu kerlap-kerlip. Kora-kora, begitu orang-orang menyebutnya. Dengan tiket sepuluh ribu rupiah kita dapat menikmati ketegangan di wahana itu.
Lalu, kami pun mendekati wahana itu sambil berkeliling melihat sejumlah permainan di sana. Ternyata, anak saya pun begitu penasaran dengan wahana bianglala. Roda besar yang tiada hentinya berputar dan menyita perhatian anak saya sejak tadi. Tugas saya memang hanya menemaninya mengekplorasi wahana cukup menantang itu. Apalagi, buat saya yang sudah lama tidak beraktivitas di ketinggian. Tapi, tenang sajalah.
Akhirnya, saya, anak saya, dan kakak sepupunya pun berangkat naik bianglala. Saya pun melihat anak saya begitu senang merasakan sensasinya, mulai dari membeli tiket, mengantre di depan pintu pagar, sampai masuk ruang kecil mirip aviarium (sangkar burung).
Tak henti saya melihat anak kecil itu tersenyum, meski tampak sedikit ekspresi kengerian ketika kami tiba di puncak ketinggian. Saya pun bertanya, "Gimana rasanya, An?"
"An pusing, Ayah," jawabnya. Memang agak mual berputar-putar di bianglala. Tapi ketimbang fokus dengan rasa pusing, saya mengajak anak saya dan kakak sepupunya untuk memperhatikan ada apa saja di luar sana. Pengalihan isu mungkin bisa meredakan rasa pusingnya. Begitu pikir saya.
Ya, pemandangan dari ketinggian itu lumayan juga. Meskipun aviarium yang kami naiki besi-besinya terlalu rapat, setidaknya kami dapat menikmati sedikit langit malam dengan gemerlap bintang. Sambil juga melihat ramainya pengunjung pasar malam yang ada di bawah bianglala ini.
Seusai naik bianglala, saya agak sedikit pusing. Tapi tenang, ini bukan asam lambung yang naik atau serangan migrain yang mendadak kambuh. Ini hanya efek berputar-putar di bianglala saja.
Apakah ini sudah cukup? Tidak, anak saya malah makin penasaran dengan wahana di sebelahnya, yaitu kora-kora. Wahana berbentuk perahu yang diayun ke kanan dan ke kiri. Sepertinya itu akan lebih mual dan membuat keleyengan. Dan anak saya yang baru berusia empat tahun belum waktunya naik wahana seekstrem itu. Bianglala memang si biang keladi. Nanti ya nak, kita naik kora-koranya.
Malam semakin menggelap. Saya pun pulang beserta istri dan anak saya. Kamar yang gelap dan bantal yang empuk sudah menanti. Ratusan kaset mimpi pun siap menemani tidur kami.
0 Komentar