7/8/2024
Baru saja aku melintasi sebuah permukiman padat di tepian Ibu Kota. Dengan ojek online, aku melewati jalan kecil. Jalan yang bahkan sepertinya tidak pantas disebut jalan setapak. Di kanan kirinya adalah pintu dan jendela rumah. Sebagian juga menaruh gerobak dagangnya di depan rumah. Ada pula yang membuka warung kelontong.
Dihimpit kerasnya hidup. Jalan sempit tak membuat mereka lelah bertahan hidup. Ya, aku kira ini strategi hidup paling banyak diterapkan di tempat seperti ini. Tempat yang bahkan mungkin tidak bisa menjadi lingkungan belajar yang ideal bagi anak-anak yang tinggal di situ.
Di sepanjang jalan, aku melihat orang-orang berbagai macam rupa. Rupanya permukiman padat semacam ini memang sangat jamak dihuni masyarakat heterogen. Orang-orang yang entah datang dari mana. Beragam suku dan bahasa tentu melebur di situ.
Aku kasihan dengan anak-anak di situ. Ada sebuah TPA yang lokasinya berderat terhimpit rumah-rumah. Tidak ada taman bermain. Tidak ada perosotan atau ayunan. Masuk pintu langsung ke ruang kelas. Di situlah anak-anak menimba ilmu agama, belajar iqra, dan bersosialisasi dengan teman sejawatnya.
Barangkali, tempat ini memang tidak terlalu buruk bagi mereka. Tapi, aku berharap suatu saat mereka akan mendapat ruang hidup yang lebih layak. Tidak seperti "City of Ember" yang mengurung dan membuat mereka terbelenggu dengan status quo.
Perjalanan lima menit yang sangat padat. Dan ini membuatku merasa kita sangat perlu menghargai hidup ini. Masyarakat kita tentu masih banyak yang menanggung nasib seperti ini karena garis keturunan. Anak-anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Tapi, semoga ada sebagian dari mereka yang mau berpindah dari kondisi itu.
Baru saja aku melintasi sebuah permukiman padat di tepian Ibu Kota. Dengan ojek online, aku melewati jalan kecil. Jalan yang bahkan sepertinya tidak pantas disebut jalan setapak. Di kanan kirinya adalah pintu dan jendela rumah. Sebagian juga menaruh gerobak dagangnya di depan rumah. Ada pula yang membuka warung kelontong.
Dihimpit kerasnya hidup. Jalan sempit tak membuat mereka lelah bertahan hidup. Ya, aku kira ini strategi hidup paling banyak diterapkan di tempat seperti ini. Tempat yang bahkan mungkin tidak bisa menjadi lingkungan belajar yang ideal bagi anak-anak yang tinggal di situ.
Di sepanjang jalan, aku melihat orang-orang berbagai macam rupa. Rupanya permukiman padat semacam ini memang sangat jamak dihuni masyarakat heterogen. Orang-orang yang entah datang dari mana. Beragam suku dan bahasa tentu melebur di situ.
Aku kasihan dengan anak-anak di situ. Ada sebuah TPA yang lokasinya berderat terhimpit rumah-rumah. Tidak ada taman bermain. Tidak ada perosotan atau ayunan. Masuk pintu langsung ke ruang kelas. Di situlah anak-anak menimba ilmu agama, belajar iqra, dan bersosialisasi dengan teman sejawatnya.
Barangkali, tempat ini memang tidak terlalu buruk bagi mereka. Tapi, aku berharap suatu saat mereka akan mendapat ruang hidup yang lebih layak. Tidak seperti "City of Ember" yang mengurung dan membuat mereka terbelenggu dengan status quo.
Perjalanan lima menit yang sangat padat. Dan ini membuatku merasa kita sangat perlu menghargai hidup ini. Masyarakat kita tentu masih banyak yang menanggung nasib seperti ini karena garis keturunan. Anak-anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Tapi, semoga ada sebagian dari mereka yang mau berpindah dari kondisi itu.
0 Komentar