Ahmad Soleh
16 Agustus 2024
Pertanyaan ini muncul pada judul buku pemberian Pak Satria Dharma sewaktu kami berkegiatan di Tarakan, Kalimantan Utara. Dalam buku berjudul Muslim Kok Nyebelin? itu kita disajikan wacana-wacana kontroversial yang menghentak dan tentu mengusik nalar untuk rethinking Islam—kembali memikirkan Islam—istilah yang populer digunakan Mohammed Arkoun. Mengapa begitu? Artikel-artikel dalam buku ini tampak sekali lahir dari kegelisahan dan keterusikan penulisnya atas isu keislaman yang berkembang di masyarakat—dan jagat internet. Kupikir wacana kritis mengenai Islam seperti ini memang perlu terus digulirkan sebagai bentuk tawasaw bil haq terhadap sesama.
Tentu, banyak hal diulas, mulai dari kontroversi pengikut habaib di Indonesia, fenomena pengikut FPI, dan hal-hal kasuistis seputar agama, budaya, dan keberadaan umat Islam dalam kehidupan masyarakat yang heterogen. “Banyak umat Islam yang tidak bisa membedakan ajaran, budaya, dan tradisi,” ujarnya (hlm 203). Terkadang, apa yang tidak seharusnya ajaran menjadi dianggap sunah bahkan wajib. Hal demikian tentu akan mendistorsi nilai ajaran itu sendiri sehingga apa yang esensial dalam ajaran agama justru dianggap sebagai "No 2", sebagai pelengkap saja.
Maka, penting bagi umat Islam berpikir dan berlaku adil dan proporsional, menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jangan dibolak-balik. “Kalau kita pakai siwak untuk sikat gigi maka itu tidak lebih nyunnah dan juga tidak dapat pahala,” tegasnya (hlm 204). Menurutku, hal semacam ini muncul dari pemahaman yang abu-abu terhadap "ajaran agama" itu sendiri. Mayoritas Muslim kita masih menganggap bahwa berbahasa Arab itu lebih Islami, berbaju gamis itu lebih saleh, berjenggot itu lebih alim, dan sebagainya. Hal-hal yang kaitannya dengan budaya Arab, hampir selalu dianggap Islami.
Dalam artikel berjudul “Para Penista Agama” (hlm 179), penulis memberikan uraian yang menarik. Dalam pembuka paragrafnya ia menulis, “Siapa penista agama sesungguhnya? Yaitu orang-orang yang dianggap sebagai pemuka agama yang justru melakukan kejahatan dan kenistaan dengan memanfaatkan statusnya sebagai pemuka agama.” Kalimat ini jelas dan tegas memberikan teguran kepada siapa saja agar berhati-hati “mengatasnamakan agama” dalam tindak-tanduknya.
Melakukan kejahatan dengan landasan dalil agama merupakan perbuatan nista nan tercela. Penulis memberikan penggambaran bagaimana oknum pemilik pesantren yang melakukan pelecehan seksual terhadap santrinya. Tentu, kita sudah sangat muak dengan berita kiai yang melecehkan santrinya. Bahkan, dalam beberapa hari belakangan ini ada kabar bahwa sejumlah santri laki-laki disodomi oleh ustaz yang saban hari mengajarinya mengaji. Ironis sekali. Tempat menggali ilmu agama yang seharusnya aman bagi anak-anak, justru menjadi sangat membahayakan dan mengkhawatirkan.
Kurasa ini perlu menjadi perhatian kita. Bahwa anak-anak kita membutuhkan ruang yang aman. Di mana lagi akan mereka temukan tempat itu jika di pesantren saja sudah tidak aman. Kepada siapa lagi mereka harus percaya, jika para kiai dan ustaz yang dikenal paham agama ternyata berkelakuan bejat. Pembahasan semacam inilah yang tampil dalam beberapa artikel di buku ini. Hal ini menurutku penting untuk memantik nalar berpikir kita. Jangan silau dengan kemasan agamis, alim, gelar terhormat.
Pesan lain yang tak kalah pentingnya dari buku ini adalah pentingnya sikap toleransi menghadapi perbedaan. Dalam konteks ini, yang di-highlight oleh penulis adalah tentang adanya perbedaan pendapat antara ulama, tetapi di sisi lain, umat Islam yang justru gontok-gontokkan karena perbedaan pendapat. Tidak menerima perbedaan pendapat merupakan watak primitif manusia. Jangankan bicara toleransi dalam makna yang lebih luas, dalam soal pendapat saja tidak terima jika ada yang berbeda. Inilah gambaran yang tampak dalam diskusi tahunan, seperti penentuan awal Ramadan dan Syawal, apakah hilal atau rukyat. Perbedaan lain yang juga dicontohkan dalam buku ini adalah soal pengucapan “selamat Natal” apakah boleh atau tidak. Banyak juga topik lainnya yang saban tahun menjadi perdebatan.
Maka, sebagai Muslim kita seharusnya bisa menerima adanya khilafiyah. Jangankan di kalangan umat yang awam dan fakir ilmu, di kalangan ulama dan kiai saja banyak terjadi perbedaan pendapat dan itu hal yang lumrah belaka. Bahkan, ada kisah sahabat yang hidup di zaman Nabi pun berselisih pendapat lantaran menafsirkan apa yang diperintahkan Nabi. Artinya, perbedaan itu ada dan harus kita terima sebagai sebuah kenyataan, sunatullah. Sehingga, tidak perlu membuang energi berlebihan untuk berdebat, merasa paling benar sendiri, merasa paling Islam sendiri, dan bahkan ekstrem menganggap yang berbeda pendapat sebagai kaum kafir dan murtad. Nauzubillah.
Secara umum, buku setebal 358 halaman ini menyajikan empat bagian pembahasan. Bagian satu membahas topik Keindahan Islam Tertutup oleh Penganutnya. Bagian kedua menyajikan topik Beriman dengan pemikiran yang Sehat. Bagian ketiga membahas topik Merdeka Berpikir dengan Berpegang Nilai-Nilai Agama. Bagian keempat menyajikan pembahasan tentang Buah Iman yang Manis. Dan terakhir, pada bagian kelima membahas semacam refleksi, Pikniknya Kurang Jauh.
1 Komentar
Produktif kali Abang ini nulisnya. Kalau kata Om Indro Warkop, inilah Seniman.
BalasHapus