15 September 2024
Mencipta puisi barangkali bukan perkara yang mudah bagi sebagian orang. Apalagi bila ia jarang atau bahkan tidak suka membaca puisi. Membaca di sini dalam pengertian benar-benar membaca—bukan mendeklamasikan. Sebab itulah setiap proses kreatif dalam mencipta puisi perlu dipelajari. Setidak-tidaknya, bagi pemula, hal itu akan membantu bagaimana proses kreatif yang sesuai dengan dirinya.
Saya sendiri bukan orang yang terlalu memikirkan proses kreatif. Kadang begitu sembarangan. Sehingga puisi yang saya ciptakan terkadang tidak membuat saya sendiri puas. Tapi, bukankah memang begitu etos berkarya? Tidak mudah puas dan terus-menerus mencoba cara lain, sudut pandang lain, bentuk lain, dan seterusnya. Tapi, sampai kapan proses itu menemui ujungnya? Saya sendiri tidak tahu.
Namun, bila kawan-kawan ingin mempelajari proses kreatif mencipta puisi, saya punya satu rekomendasi buku yang cukup bagus untuk disimak. Buku ini berjudul Seni Mencipta Puisi dengan anak judul “Menyingkap Rahasia dan Teknik Penciptaan Puisi dari Sang Maestro”. Buku kecil dengan tebal 208 halaman ini ditulis oleh sastrawan kawakan, Iman Budi Santosa. Bagi kawan-kawan yang belum pernah mendengar namanya, bisa mulai mencari tahu sejak sekarang.
Mencipta Berbeda dengan Menulis
Bagi Iman Budi Santosa (selanjutnya akan saya sebut Santosa saja), istilah yang lebih tepat untuk proses membuat puisi adalah “mencipta” bukan menulis, membuat, dan sebagainya. Hal ini ia ungkapkan di bagian awal sebagai disclaimer atas judul besar buku yang diterbitkan Penerbit Circa ini. Ia menulis, “Khusus dalam buku ini digunakan istilah atau penyebutan mencipta puisi. Bukan menulis, ngarang, atau membuat. Karena dalam KBBI, pengertian menulis antara lain: 1) membuat huruf (angka) dengan alat (pensil, pena); 2) melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat).” (2020: 1).Ia menguatkan argumennya mengenai istilah mencipta ini menandakan kegiatan yang tidak hanya bersifat fisik seperti menulis. Menulis bagi Santosa lebih dekat kepada proses teknis, bukan substansinya. Sementara dalam proses kreatif mencipta puisi, ujar Santosa, yang terjadi bukan hanya menuliskan ide-ide puitik menjadi konstruksi kebahasaan yang disebut puisi. “Tetapi mulai dari menccari dan menemukan ide-ide puitik yang akan dicipta menjadi puisi,” ungkapnya (2020: 2).
Meskipun hal ini tentu akan memancing perbedaan pendapat, disclaimer dan argumentasi yang dijabarkan Santosa tampak menguatkan judul utama bukunya ini. Tidak berhenti di situ, ia mengungkapkan perumpamaan mencipta puisi dengan membatik. Begini penjelasannya, “jika puisi disandingkan dengan membatik, membatik dapat disebut menulis. Karena terdapat ungkapan “batik tulis”. Yakni, kain batik yang dibuat menggunakan canting dan malam, bukan diproduksi (diperbanyak) secara teknis menjadi batik cap. Membuat kain batik, pada hakikatnya adalah membuat tiruan dari pola yang sudah dibuat di masa lalu. Sedangkan mencipta puisi prinsipnya sama dengan membuat “pola batik” oleh sang kreator.” (2020: 7).
Di sini, Santosa menaruh seorang pencipta puisi sama derajatnya dengan kreator atau orang yang membuat pola batik. Artinya, seorang pencipta puisi ialah kreator, bukan pengikut atau penjiplak dari pola-pola yang sudah ada. Kendati, dalam prosesnya tetap harus mempelajari ragam pola dan bentuk yang sudah ada sebelumnya. Tentu saja, mustahil rasanya seseorang bisa begitu saja menciptakan puisi tanpa lebih dulu belajar dan mempelajari bagaimana cara para penyair menciptakan puisinya.
Metode N-3 untuk Mencipta Puisi
Dalam buku Seni Mencipta Puisi, Santosa menawarkan metode efektif mencipta puisi yang orisinal. Metode penciptaan puisi ini ia sebut sebagai metode N-3, yakni niteni, nirokake, dan nambahi. Di antara sekian banyak dan uniknya proses kreatif, metode penciptaan puisi yang ditawarkan Santosa dalam bukunya ini patut kita coba. Nah, untuk itu kita perlu tahu apa yang dimaksud dengan metode N-3 dan seperti apa proses kreatifnya.Santosa dalam bukunya menjelaskan dengan sangat baik mengenai metode N-3 ini. Di antaranya ia menjelaskan secara runtut/sistematis dan disertakan pula langkah-langkah praktis pelaksanaannya. Ia menjelaskan, “belajar mencipta puisi menggunakan metode N-3, ada tiga tahap yang harus dilewati oleh setiap pembelajar. Yakni, 1) tahap niteni (memperhatikan); 2) tahap nirokake (menirukan); dan 3) tahap nambahi (menambah).” (2020: 27).
Menurut Santosa, untuk menerapkan metode ini ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Di antaranya, metode ini digunakan untuk pembelajaran pribadi sehingga membutuhkan konsentrasi dan kesungguhan, membutuhkan contoh karya yang baik dan layak, membutuhkan disiplin dan kesabaran, mempersiapkan referensi ilmu pengetahuan/wawasan, serta prosesnya dihayati dan berbagai hal penting dicatat.
Santosa menjelaskan dengan gamblang mengenai metode N-3 dalam Bab IV. Penjelasannya begitu perinci mulai dari dasar sampai tahapan teknis. Pertama, niteni (memperhatikan) yakni menaruh perhatian secara mendalam. Hal ini dijelaskan Santosa bahwa niteni “bukan hanya memperhatikan sepintas lalu, atau asal-asalan, tetapi nggatekake, yakni memperhatikan dengan sungguh-sungguh, dengan teliti dan saksama, menggunakan pikiran, perasaan, serta hati yang bersih dan terbuka.” (2022: 39).
Dalam proses ini, menurut Santosa, pencipta puisi harus mencari, memilih, dan menentukan contoh karya yang akan digunakan. Proses ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Sebab, menurut dia, “contoh karya-karya yang dijadikan bahan pembelajaran (kajian) bakal sangat berpengaruh pada kualitas hasil pemahaman yang akan diperoleh nantinya.” (2022:40). Proses niteni seperti yang dijabarkan Santosa mengandung risiko, yakni karya yang diciptakan bisa jadi sangat terpengaruh oleh karya lain yang diambil sebagai contoh.
Kedua, nirokake atau menirukan. Meniru bukan sembarang meniru. Sebab asal meniru bisa jadi karya kita tidak orisinal. Meniru, menurut Santosa, harus diartikan meneladani. “Meneladani terhadap sesuatu yang patut ditiru, yang baik/berguna untuk dicontoh.” (2020: 105). Dalam proses nirokake, Santosa menekankan, ini merupakan proses pembelajaran.
Jadi, bagi kita yang ingin belajar mencipta puisi dengan cara meniru, ada baiknya untuk tidak memublikasikan puisi yang dihasilkan. Sebab, seperti saya sebutkan tadi, karya kita bisa jadi tidak orisinal bahkan dianggap memplagiat. “Hanya digunakan khusus untuk kepentingan pembelajaran dan disimpan dalam arsip pribadi,” ujar Santosa (2020: 107).
Ketiga, nambahi atau menambah. Menambah dalam penciptaan puisi, bisa diungkapkan dengan istilah menggubah. Santosa mengungkapkan, nambahi prinsipnya melaksanakan pengubahan, mengubah, dan menggubah (2020: 117). Artinya, menciptakan puisi baru dengan penyesuaian terhadap selera pribadi dengan berpedoman pada contoh puisi atau referensi lainnya. Bila dirunut secara bertahap, maka proses nambahi atau menggubah ini adalah fase lanjutan dari nirokake. Bila dalam nirokake kita menirukan bagaimana bentuk, struktur dan kualitasnya, maka dalam proses nambahi ini kita dituntut lebih kreatif. Dalam bahasa Santosa disebut sebagai “fase kreatif”.
Dalam melengkapi pembahasannya, Santosa juga memberikan beberapa contoh praktis penerapan ketiga langkah atau metode N-3 di atas. Bahkan, ada juga beberapa perbendaharaan kata yang dicantumkan berkenaan dengan kosakata atau istilah-istilah dalam perpuisian. Itulah sebabnya buku ini dapat kita jadikan sebagai pedoman untuk benar-benar belajar mencipta puisi yang berkelas dengan mencontoh (meneladani) puisi-puisi karya para penyair.
Penyair dan Proses Kreatifnya
Barangkali ketiga tahapan di atas tidaklah selalu dapat dilaksanakan dengan baik oleh setiap penyair. Dalam buku ini, Santosa menyadari betul bahwa setiap penyair itu memiliki keunikan atau kekhasannya sendiri berkaitan dengan proses kreatif mencipta puisi. Meskipun begitu, ia mengutip pendapat Goethe, “seorang kreator ibarat manusia setengah dewa yang tengah istirah dan mencari-cari materi di sekeliling untuk dicurahi rohnya.” (2020: 133).Ada tiga kata kunci dalam ungkapan Goethe ini. Pertama, manusia setengah dewa yang secara sederhana dapat kita maknai manusia yang “melampaui” orang biasa. Kedua, mencari materi yang dapat kita tangkap sebagai upaya seseorang mencari berbagai hal yang dapat mendukung penciptaan puisinya. Entah itu kata-kata, bahasa, ungkapan, hingga ide-ide puitis.
“Sebab mencipta (melahirkan karya seni) memerlukan konsentrasi tinggi dan nyaris menggunakan seluruh potensi pribadi yang dimiliki.” (2020: 134). Proses kreatif setiap penyair dalam melahirkan karyanya pasti berbeda satu sama lainnya. Namun, seperti apa yang disebutkan Santosa, setiap proses penciptaan mesti melalui proses “istirah”. Istirah artinya berdiam diri untuk menyelami, menyendiri, menyelam dalam permenungan, berdialog dengan karya-karya lain dengan tujuan untuk mencari dan menemukan momentum puitik. Proses ini yang saya kira perlu kita lakukan untuk mendapatkan “roh” dari puisi itu.
Identitas Buku
Judul: Seni Mencipta Puisi; Menyingkap Rahasia dan Teknik Penciptaan Puisi dari Sang MaestroPenulis: Iman Budhi Santosa
Penerbit: Circa (2020)
Tebal: x + 208 halaman
ISBN: 978-623-7624-35-6
0 Komentar